foto dan teks oleh Wisnu Broto
Kehadiran sebuah peradaban tidak hanya bisa ditelusuri lewat catatan aktivitas masyarakatnya di masa lampau. Namun bisa juga dengan meninjau saksi bisu yang tersisa. Salah satu dari saksi bisu itu adalah bangunan-bangunan tua yang menyimpan rentetan catatan sejarah yang otentik.
Adalah Tamansari Gua Sunyaragi yang merupakan salah satu contoh peninggalan hasil budaya leluhur bangsa Indonesia. Obyek budaya ini berada di sisi jalan by pass Brigjen AR Dharsono, Cirebon kurang lebih 5 kilometer sebelah barat pusat kota, tepatnya di Kelurahan Sunyaragi, Kecamatan Kesambi. Menempati areal seluas kurang lebih 1,5 ha, aroma kemegahan terasa menyambut begitu kita melewati pintu masuk Tamansari Gua Sunyaragi. Pada masanya, Gua Sunyaragi merupakan istana yang dikelilingi air dengan konstruksi bangunan berupa gua-gua yang bagian luarnya terdiri dari susunan karang laut, sementara bagian dalamnya berupa batu bata berlapis semen dan menara dari kayu. Petilasan yang menghadap ke arah timur ini dibangun sebagai tempat bertapa, sesuai dengan nama yang diberikan, yaitu sunya yang berarti sepi, dan ragi yang berarti raga atau jasad. Sunyaragi berarti menyepi untuk bertapa dan mencapai ketenangan jiwa serta mengolah kanuragan.
Bangunan-bangunan yang menyusun kompleks Taman Sunyaragi ini terdiri dari 12 bangunan inti, antara lain Gua Pengawal, sebagai tempat berkumpul para pengawal sultan; Gua Simanyang, sebagai pos penjagaan para pengawal Sultan; Bangsal Jinem, asal kata dari puji = pujian dan gunem = wejangan, tempat sultan memberi wejangan sekaligus melihat para prajurit berlatih. Sementara di belakang bangsal jinem terdapat tempat beristirahat sultan yang disebut sebagai Mande Beling; lalu ada Gua Langse, tempat bersantai yang pada masanya tertutup aliran air terjun yang membentuk tirai; Gua Peteng, tempat sultan dan para pangeran bertapa mengolah kanuragan dan kekebalan tubuh; Bangsal Panembahan, terdiri dari Kaputran (tempat para pangeran) dan Kaputren (tempat para putri sultan); Bale Kambang, Bangunan seluas 5 x 5 meter persegi yang dibangun di atas air sebagai tempat menyambut tamu; Arga Jumud, tempat menerima tamu penting sultan; Gua Padang Ati, tempat bersemedi untuk mendapatkan pencerahan; Gua Kelanggengan, tempat bersemedi meminta kelanggengan rumah tangga dan memohon kemudahan bertemu jodoh. Di masa sekarang, gua ini digunakan oleh pejabat yang menginginkan kelanggengan jabatannya. Kemudian Gua Pande Kemasan, tempat membuat dan menyimpan senjata tajam; dan terakhir Gua Pawon, dapur dan tempat menyimpan makanan.
Selain bangunan gua-gua, terdapat pula taman-taman yang dipercaya merupakan taman-taman yang indah pada masanya. Dari petilasannya tampak taman-taman tersebut tersusun rapi, terbuka, dengan beberapa tempat duduk yang memberi kesan romantis. Taman-taman tersebut Taman Bujangga Obahing Bumi, Taman Puteri Bucu, dan Taman Kaputren. Terdapat pula beberapa patung-patung yang menghiasi antara lain Patung Perawan Sunthi yang menurut kepercayaan masyarakat jika seorang gadis menyentuh patung tersebut maka dia akan kesulitan mendapatkan jodoh. Juga terdapat patung Gajah Derum Narik Kreta yang dimandikan setiap kemarau menjelang, dan patung manusia berkepala burung garuda yang dililit ular.
Dari ornamen, motif, serta corak yang menyusun bangunan-bangunan yang ada di Taman Sunyaragi ini terlihat bahwa gaya arsitektur yang dianut oleh Gua Sunyaragi merupakan perpaduan antara gaya Indonesia klasik yang bernuansa Hindu, gaya Cina klasik, gaya Timur Tengah yang dipengaruhi kebudayaan Islam, serta gaya Eropa. Perpaduan itu membentuk sebuah petilasan dengan arsitektur estetis yang mengagungkan nilai-nilai spiritual.
Perkembangan Tamansari Sunyaragi dari masa ke masa berubah-ubah sesuai kehendak dan kebutuhan Sultan Cirebon. Lama-kelamaan Tamansari Gua Sunyaragi tak hanya sebagai tempat beristirahat atau bertapa saja, melainkan juga berfungsi ganda sebagai simbol kegiatan perlawanan terhadap Belanda seperti yang terlihat pada masa pemerintahan Sultan Matangaji Tajul Arifin. Pada masa itu Gua Sunyaragi menjadi tempat mengatur strategi perlawanan, pembuatan senjata, dan sebagai pusat latihan perang prajurit kerajaan.
Sejarah berdirinya Gua Sunyaragi memiliki dua buah versi. Versi pertama yang sering digunakan sebagai acuan para pemandu wisata adalah berdasarkan catatan tertulis yang disusun oleh Pangeran Arya Carbon pada tahun 1720 M berupa buku Purwaka Carabuana Nagari. Menurut buku tersebut, Gua Sunyaragi dibangun pada tahun 1703 M oleh Pangeran Kararangen, nama lain dari Pangeran Arya Carbon sendiri.
Sementara versi kedua yang merupakan cerita turun-temurun secara lisan oleh para bangsawan Cirebon atau dikenal dengan versi Caruban Kandha dan ditambah dengan beberapa catatan dari Keraton Kasepuhan menyebutkan bahwa Tamansari dibangun karena tempat bertapa sebelumnya yaitu Pesanggrahan Giri Nur Sapta Rengga berubah fungsi menjadi tempat pemakaman raja-raja Cirebon, yang sekarang dikenal sebagai Astana Gunung Jati.
Perubahan fungsi itu bebarengan dengan perluasan istana Pakungwati (sebelum dipecah menjadi Keraton Kasepuhan dan Kanoman) sesuai penanggalan jawa chandrasengkala Benteng Tinataan Bata yang menunjuk pada tahun 1529 M berupa pembangunan tembok mengelilingi keraton, Siti Inggil dan lain-lain. Argumentasi ini diperkuat dengan penanggalan jawa Chandrasengkala Taman Bujangga Obahing Bhumi yang ditemukan di area Tamansari Gua Sunyaragi ini yang menunjuk pada tahun 1529 M. Selain itu, dijelaskan pula bahwa Pangeran Kararangen hanya membangun kompleks Gua Arga Jumut dan Gua Pande Kemasan, dua dari 12 bangunan inti yang ada Gua Sunyaragi ini.
Beberapa pemugaran selanjutnya turut mewarnai perjalanan sejarah kompleks Tamansari Gua Sunyaragi ini. Pada tahun 1852, Sultan Adiwijaya menugaskan arsitek Cina Sam Pho Tia Jin untuk merenovasi Gua Sunyaragi karena beberapa bangunannya dihancurkan mortir Belanda pada tahun 1787. Konon, arsitek tersebut ditahan dan dihukum mati karena membocorkan rahasia istana air ini ke tangan Belanda dan dimakamkan di bawah kerimbunan pohon beringin yang telah berumur ratusan tahun, masih di dalam areal kompleks Tamansari Gua Sunyaragi.
Tips Perjalanan:
Jika anda menggunakan kendaraan pribadi akan lebih mudah mencapai Tamansari Gua Sunyaragi, karena letaknya di sebelah baratdaya pusat kota. Anda bisa masuk melalui Jl Dr Cipto Mangunkusumo atau Jl HR Dharsono (by pass).
Namun jika anda memilih untuk menggunakan kendaraan umum, dari Jakarta - Cirebon bisa naik Kereta api Cirebon Ekspres Rp 55000 - Rp 75000,-.
Dari Stasiun Cirebon naik angkot D-5 turun di ujung jalan Dr Cipto Mangunkusumo Rp 2000,-. Kemudian disambung naik becak Rp 3000,- atau jalan kaki kurang lebih 500 m. Sebaiknya anda menanyakan ke pengemudi angkutan umum tersebut dimana harus berhenti karena semua pengemudi angkot di Cirebon mengetahui Tamansari Sunyaragi tersebut.
Tiket masuk sukarela antara Rp 1000-3000,-. Biaya pemandu Rp 15.000 untuk menerangkan sejarah Gua Sunyaragi.
(dimuat di majalah Travel Club edisi 18/Mei 2007/Tahun XIX)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment