Monday, February 18, 2008

CANDI BELAHAN YANG TERLUPAKAN

foto dan teks oleh Wisnu Broto
Masyarakat Jawa pada umumnya telah akrab dengan bangunan candi. Ketika orang berbicara tentang candi, benak kita secara otomatis akan dituntun ke sebuah bangunan kokoh yang tersusun atas batu-batu yang ditumpuk secara teratur membentuk undakan dan telah berumur ratusan tahun. Lebih spesifik lagi citra bangunan candi tersebut dalam benak kita identik dengan bangunan candi Borobudur maupun candi Prambanan yang berukuran sangat besar dan namanya telah tersohor di seluruh penjuru dunia, meskipun sebenarnya masih banyak lagi candi-candi kecil yang bertebaran di pelosok-pelosok desa dan pedalaman lereng-lereng pegunungan, yang namanya pun asing di telinga. Candi Belahan, misalnya, merupakan satu dari sekitar 80 bangunan candi kecil yang ditemukan di seputaran Gunung Penanggungan.
Terletak pada ketinggian sekitar 700 meter di atas permukaan air laut, candi ini berada di wilayah Dusun Belahan, Desa Wonosonyo, Kecamatan Gempol, Pasuruan, Jawa Timur, tepatnya sekitar 40 km dari kota Pasuruan, di jalur Surabaya-Malang. Melalui jalan perbukitan yang menanjak dan bekelok, Anda disuguhi pemandangan berupa hutan pohon akasia dan areal ladang penduduk. Jika cuaca cerah, kepenatan kita selama perjalanan akan terobati dengan hadirnya pemandangan indah dari puncak gunung Penanggungan. Suasana yang sejuk, tenang dan asri khas pedesaan akan semakin sejuk ketika sapaan ramah penduduk setempat yang sudah tidak merasa asing dengan wisatawan karena desa mereka sering menjadi rute pendakian menuju puncak Gunung Penanggungan dengan ketinggian 1653 meter.

Candi Belahan yang sebenarnya merupakan petirtaan ini sangatlah unik dan mempesona, karena salah satu patungnya, yaitu patung Dewi Laksmi mengucurkan air melalui kedua puting susu yang ditampung di sebuah kolam berukuran kurang lebih 6x4 meter di depannya. Terdapat dua buah patung yaitu patung Dewi Sri dan Dewi Laksmi yang merupakan lambang kesuburan dan kemakmuran. Kedua patung tersebut berdiri berdampingan di depan dinding yang tersusun dari batu bata yang dihiasi dengan relief setinggi sekitar tiga meter menampilkan Wisnu menunggang Garuda. Namun hanya patung Dewi Laksmi yang mengucurkan air yang mengalir sepanjang tahun bahkan di musim yang paling kemarau sekalipun. Air yang mengucur dari puting susu arca ini sampai sekarang digunakan oleh masyarakat setempat untuk keperluan sehari-hari seperti minum, mandi, memasak dan mencuci. Oleh masyarakat setempat, candi Belahan ini lebih populer dengan sebutan Sumber Tetek.
Setiap hari, masyarakat sekitar candi menyusuri jalan yang berliku, naik turun bukit serta melewati jalan setapak yang membelah hutan untuk mengambil air keperluan sehari-hari dengan menggunakan ember dan jerigen. Mereka harus bolak-balik beberapa kali untuk mengisi tempat penampungan air di rumah dari pagi hingga menjelang malam hari.
Di sumber air itu, masyarakat tak hanya mengambil air. Mereka juga mandi dan mencuci. Para pria mandi dengan bertelanjang dada menceburkan diri di kolam candi, sedangkan kaum wanita mandi di tempat mandi terpisah yang dibuat tak jauh dari lokasi candi. Sementara anak-anak setempat secara beramai-ramai juga menceburkan diri mandi di kolam candi sepulang dari sekolah maupun mengaji.
Kebutuhan air bersih dari Petirtaan Candi Belahan tak hanya dinikmati oleh masyarakat sekitar candi yang dikenal sebagai penduduk Belahan Jawa, melainkan juga dengan warga desa tetangga yang terletak jauh di kaki gunung dan dikenal sebagai warga Belahan Nangka meliputi Dukuh Genengan, Jeruk Purut, Gedang, Pojok, Karang Nangka, Dieng, dan Kandangan serta warga Kunjoro yang berbatasan langsung dengan Mojokerto.
Memang, air yang mengalir dari puting susu patung Dewi Laksmi tersebut terlihat bening dan terasa sejuk. Untuk dikonsumsi langsung pun tak masalah. Bahkan menurut sebagian warga setempat, air tersebut dipercaya memiliki khasiat tertentu seperti bisa menjadikan awet muda dan kesembuhan terhadap penyakit-penyakit tertentu.
“Pernah ada orang yang sakit dan beberapa kali mandi di kolam Sumber Tetek ini dan minum airnya, ia lalu sembuh,”ujar Syaiful salah seorang warga setempat. Lokasi ini bahkan sempat membuat salah satu stasiun televisi swasta nasional untuk menggelar acara uji keberanian beberapa waktu yang lalu karena diduga tempat ini ada ‘penunggunya’. Sosok penunggu itulah yang dipercaya ikut menjaga kelestarian situs petirtaan Sumber Tetek tersebut sejak dulu. Konon pada masa penjajahan Belanda, ada upaya untuk mengangkut salah satu ornamen candi. Tetapi tidak ada satu orang pun yang mampu mengangkatnya sehingga upaya pengangkutan tersebut gagal dan keaslian situs Sumber Tetek tersebut tetap terjaga.
Candi Belahan atau Sumber Tetek dibangun pada akhir masa pemerintahan Airlangga pada abad ke-10. Raja Airlangga menjadi raja setelah dinobatkan pada tahun 1019. Sebagai sosok raja yang bijak dan disebut sebagai titisan Dewa Wisnu, Airlangga berhasil memajukan bidang pertanian, perkebunan, dan perniagaan termasuk dalam menjalin hubungan dagang dengan dunia luar. Pemerintahannya mengalami kemajuan yang pesat pada tahun 1031 yang ditandai dengan kepindahan ibukota kerajaan dari Wuwutan Mas ke Kahuripan. Selain kemakmuran dan ketentraman yang dirasakan oleh rakyatnya, pada masa itu bidang kesenian juga mengalami kemajuan, terutama bidang seni sastra. Banyak dikeluarkan prasasti dan kitab kesusastraan. Salah satu yang terkenal adalah Kitab Arjunawiwaha karangan mpu Kanwa.
Namun kejayaan Kerajaan Kahuripan ternyata tidak dapat berlangsung lama. Anak tertua Airlangga, Dewi Kilisuci menolak tahta kerajaan dan lebih memilih menjadi pertapa yang kemudian dibuatkan pertapaan di Pucangan (Gunung Penanggungan) hingga tinggallah dua adik leki-laki Dewi Kilisuci. Guna mencegah terjadinya perebutan tahta, Airlangga membagi dua kerajaannya untuk kedua anak lelakinya tersebut. Atas petunjuk seorang Brahmana, yaitu Empu Bharadha, kedua kerajaan itu dibagi menjadi Kerajaan Janggala (Singasari) dan Panjalu (Kediri) dengan batas wilayah adalah Sungai Brantas. Meski begitu, kedua kerajaan ini jauh di kemudian hari terlibat peperangan perebutan kekuasaan.
Airlangga kemudian mundur dan menjadi pertapa dengan nama Resi Gentayu sampai wafat pada tahun 1049. Selama menjadi pertapa, Airlangga memiliki beberapa tempat pertapaan di lereng Gunung Penanggungan, salah satunya adalah Candi Belahan. Penghormatan kepada Raja Airlangga atas jasanya membawa kemakmuran bagi rakyatnya tercermin dari dua patung Dewi Sri dan Dewi Laksmi yang ada di candi tersebut. Konon, beberapa orang mempercayai kalau candi ini merupakan makam tempat menyimpan abu Raja Airlangga, sehingga beberapa orang datang khusus untuk berziarah.

Namun eksotika Candi Belahan agaknya luput dari perhatian pemerintah setempat karena letaknya yang terpencil di lereng gunung. Akses menuju ke lokasi yang menanjak dan berliku-liku diperparah dengan kondisinya yang sebagian rusak. Ini menjadi kendala bagi mereka yang ingin melakukan perjalanan ke sana. Selain itu kesadaran warga setempat untuk ikut memelihara situs kuno tersebut masih kurang. Banyak sampah bungkus sabun, pasta gigi, dan deterjen terdapat di sekitar candi maupun di dalam kolam candi meskipun terpancang papan peringatan untuk tidak membuang sampah sembarangan. Namun demikian kesegaran air Sumber Tetek dan keindahan alamnya tetap memiliki daya tarik yang kuat.

(dimuat di Majalah JalanJalan edisi November-Desember 2006)

1 comment:

Unknown said...

kami sekelurga mengucapkan banyak trimah kasih kpada AKI NUGROHO atas bantuanya no 4d (5970) benar2 tembus 100% bila mau bukti hubungi AKI NUGROHO di nmr ini : 0823=1920=8865 trma ksh