teks oleh : Wisnu Broto
Mendung menggantung seolah siap menumpahkan airnya. Namun masyarakat tak gentar, tetap antusias menyambut kirab gunungan di pinggir jalan desa. Sementara bunyi genderang mulai mendekat, butir-butir halus air hujan mulai turun. 
Masyarakat Dusun Ngino, Margoagung, Seyegan, Sleman sekitar 25 km dari pusat kota Yogyakarta kembali menggelar Upacara Adat Merti Bhumi ‘Mbah Bregas’ pada hari Jumat Kliwon pertengahan Mei lalu. Upacara adat ini digelar setiap tahun sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan YME atas karunia yang telah diberikan berupa rezeki yang melimpah antara lain panen yang bagus, kesejahteraan, keselamatan, ketentraman, dan kesehatan.
Upacara adat ini juga sebagai upaya mengenang tokoh legendaris Mbah Bregas yang dianggap sebagai leluhur desa. Konon pada masa runtuhnya Kerajaan Majapahit banyak bangsawan istana yang memilih melarikan diri daripada tunduk terhadap kekuasaan Kerajaan Demak. Salah satu dari bangsawan yang melarikan diri tersebut tiba di wilayah yang sekarang bernama Dusun Ngino. Untuk menghilangkan jejak, bangsawan tersebut meninggalkan kebangsawanannya dengan menjadi seorang pertapa yang bertapa di bawah pohon beringin.
Keberadaan pertapa tersebut lambat laun diketahui oleh masyarakat setempat. Ketika timbul wabah penyakit (pageblug), pertapa tersebut menjadi juru selamat dengan memberi pengobatan kepada masyarakat yang terserang penyakit. Dari sinilah julukan Mbah Bregas mulai melekat pada si pertapa. ‘Bregas’ berarti Bagas-waras atau sehat.
Keberadaan Mbah Bregas semakin dikenal. Pada suatu saat datanglah Sunan Kalijaga untuk berdialog dengan Mbah Bregas. Perbincangan dengan ditemani jamuan mengunyah daun sirih tersebut berlangsung lama dari malam hingga tanpa sadar pagi telah menjelang. Ketika sadar bahwa pagi telah tiba, Sunan Kalijaga kemudian minta pamit untuk melanjutkan perjalanan. Sedangkan, Mbah Bregas tetap tinggal sambil merenungkan pembicaraan dengan Sunan Kalijaga tersebut.
Mbah Bregas kemudian meninggalkan Dusun Ngino setelah sebelumnya meninggalkan beberapa pesan kepada warga setempat. Tidak ada orang yang tahu kemana perginya Mbah Bregas. Beberapa orang percaya perginya Mbah Bregas karena ilmu moksa (menghilang bersama raga) yang dimilikinya.
Kini masyarakat Ngino mengenang jasa-jasa Mbah Bregas melalui ritual tahunan Upacara Adat Mbah Bregas yang dilaksanakan pada hari Jumat Kliwon seusai panen. Ritual ini diawali dengan pengambilan air suci di Sendang Plawangan sehari sebelumnya. Jumat siangnya sebelum acara Kirab Gunungan, diadakan pagelaran wayang kulit dengan lakon ‘Dewi Sri Kondhur’ (Dewi Sri Pulang). Kemudian dilanjutkan acara kirab Gunungan dari Balai desa menuju lapangan Ngino. Perebutan gunungan yang tersusun atas hasil bumi oleh masyarakat dan pembagian air merupakan puncak acara ritual ini dan menjadi atraksi yang menarik. Masyarakat menganggap hasil rebutan gunungan dan air suci membawa berkah tertentu. Malamnya, kembali digelar wayang kulit dengan lakon ‘Kresna Gugah’.
Kendati digelar setiap tahun, namun Upacara Adat Mbah Bregas kurang setenar upacara Grebeg Mulud dan Grebeg Syawal di Yogyakarta ataupun di Solo. Padahal upacara yang berkaitan erat dengan kepercayaan masyarakat ini, berpotensi tinggi dalam menjaring wisatawan nusantara maupun mancanegara. Daya tarik utamanya, adanya pagelaran wayang kulit dan kirab gunungan yang diakhiri dengan perebutan gunungan dan pembagian air suci. Penyebabnya bisa jadi karena kurangnya inormasi mengenai acara ini.
Tips Perjalanan
Upacara Adat Mbah Bregas dilaksanakan setahun sekali seusai panen. Untuk mencapai Dusun Ngino sebaiknya menggunakan kendaraan sewaan karena angkutan umum pedesaan yang mengantarkan sampai ke arah Dusun Ngino sangat jarang dan berhenti beroperasi menjelang magrib. Tetapi jika penggunaan angkutan umum merupakan pilihan, Anda bisa menggunakan Angkutan kota Jalur 5 jurusan Terminal Yogyakarta – Terminal Jombor dengan tarif Rp 2000,- per orang. Dari Terminal Jombor disambung dengan angkutan pedesaan Jalur 1C Jurusan Terminal Jombor – Tempel dengan tarif Rp 5000,- per orang, turun di Pasar Sri Katon Agung, Margokaton, Seyegan, Sleman. Dari Pasar Margokaton perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki sejauh kurang lebih 2 km.

Masyarakat Dusun Ngino, Margoagung, Seyegan, Sleman sekitar 25 km dari pusat kota Yogyakarta kembali menggelar Upacara Adat Merti Bhumi ‘Mbah Bregas’ pada hari Jumat Kliwon pertengahan Mei lalu. Upacara adat ini digelar setiap tahun sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan YME atas karunia yang telah diberikan berupa rezeki yang melimpah antara lain panen yang bagus, kesejahteraan, keselamatan, ketentraman, dan kesehatan.
Upacara adat ini juga sebagai upaya mengenang tokoh legendaris Mbah Bregas yang dianggap sebagai leluhur desa. Konon pada masa runtuhnya Kerajaan Majapahit banyak bangsawan istana yang memilih melarikan diri daripada tunduk terhadap kekuasaan Kerajaan Demak. Salah satu dari bangsawan yang melarikan diri tersebut tiba di wilayah yang sekarang bernama Dusun Ngino. Untuk menghilangkan jejak, bangsawan tersebut meninggalkan kebangsawanannya dengan menjadi seorang pertapa yang bertapa di bawah pohon beringin.
Keberadaan pertapa tersebut lambat laun diketahui oleh masyarakat setempat. Ketika timbul wabah penyakit (pageblug), pertapa tersebut menjadi juru selamat dengan memberi pengobatan kepada masyarakat yang terserang penyakit. Dari sinilah julukan Mbah Bregas mulai melekat pada si pertapa. ‘Bregas’ berarti Bagas-waras atau sehat.
Keberadaan Mbah Bregas semakin dikenal. Pada suatu saat datanglah Sunan Kalijaga untuk berdialog dengan Mbah Bregas. Perbincangan dengan ditemani jamuan mengunyah daun sirih tersebut berlangsung lama dari malam hingga tanpa sadar pagi telah menjelang. Ketika sadar bahwa pagi telah tiba, Sunan Kalijaga kemudian minta pamit untuk melanjutkan perjalanan. Sedangkan, Mbah Bregas tetap tinggal sambil merenungkan pembicaraan dengan Sunan Kalijaga tersebut.
Mbah Bregas kemudian meninggalkan Dusun Ngino setelah sebelumnya meninggalkan beberapa pesan kepada warga setempat. Tidak ada orang yang tahu kemana perginya Mbah Bregas. Beberapa orang percaya perginya Mbah Bregas karena ilmu moksa (menghilang bersama raga) yang dimilikinya.

Kini masyarakat Ngino mengenang jasa-jasa Mbah Bregas melalui ritual tahunan Upacara Adat Mbah Bregas yang dilaksanakan pada hari Jumat Kliwon seusai panen. Ritual ini diawali dengan pengambilan air suci di Sendang Plawangan sehari sebelumnya. Jumat siangnya sebelum acara Kirab Gunungan, diadakan pagelaran wayang kulit dengan lakon ‘Dewi Sri Kondhur’ (Dewi Sri Pulang). Kemudian dilanjutkan acara kirab Gunungan dari Balai desa menuju lapangan Ngino. Perebutan gunungan yang tersusun atas hasil bumi oleh masyarakat dan pembagian air merupakan puncak acara ritual ini dan menjadi atraksi yang menarik. Masyarakat menganggap hasil rebutan gunungan dan air suci membawa berkah tertentu. Malamnya, kembali digelar wayang kulit dengan lakon ‘Kresna Gugah’.

Kendati digelar setiap tahun, namun Upacara Adat Mbah Bregas kurang setenar upacara Grebeg Mulud dan Grebeg Syawal di Yogyakarta ataupun di Solo. Padahal upacara yang berkaitan erat dengan kepercayaan masyarakat ini, berpotensi tinggi dalam menjaring wisatawan nusantara maupun mancanegara. Daya tarik utamanya, adanya pagelaran wayang kulit dan kirab gunungan yang diakhiri dengan perebutan gunungan dan pembagian air suci. Penyebabnya bisa jadi karena kurangnya inormasi mengenai acara ini.
Tips Perjalanan
Upacara Adat Mbah Bregas dilaksanakan setahun sekali seusai panen. Untuk mencapai Dusun Ngino sebaiknya menggunakan kendaraan sewaan karena angkutan umum pedesaan yang mengantarkan sampai ke arah Dusun Ngino sangat jarang dan berhenti beroperasi menjelang magrib. Tetapi jika penggunaan angkutan umum merupakan pilihan, Anda bisa menggunakan Angkutan kota Jalur 5 jurusan Terminal Yogyakarta – Terminal Jombor dengan tarif Rp 2000,- per orang. Dari Terminal Jombor disambung dengan angkutan pedesaan Jalur 1C Jurusan Terminal Jombor – Tempel dengan tarif Rp 5000,- per orang, turun di Pasar Sri Katon Agung, Margokaton, Seyegan, Sleman. Dari Pasar Margokaton perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki sejauh kurang lebih 2 km.





Candi Belahan yang sebenarnya merupakan petirtaan ini sangatlah unik dan mempesona, karena salah satu patungnya, yaitu patung Dewi Laksmi mengucurkan air melalui kedua puting susu yang ditampung di sebuah kolam berukuran kurang lebih 6x4 meter di depannya. Terdapat dua buah patung yaitu patung Dewi Sri dan Dewi Laksmi yang merupakan lambang kesuburan dan kemakmuran. Kedua patung tersebut berdiri berdampingan di depan dinding yang tersusun dari batu bata yang dihiasi dengan relief setinggi sekitar tiga meter menampilkan Wisnu menunggang Garuda. Namun hanya patung Dewi Laksmi yang mengucurkan air yang mengalir sepanjang tahun bahkan di musim yang paling kemarau sekalipun. Air yang mengucur dari puting susu arca ini sampai sekarang digunakan oleh masyarakat setempat untuk keperluan sehari-hari seperti minum, mandi, memasak dan mencuci. Oleh masyarakat setempat, candi Belahan ini lebih populer dengan sebutan Sumber Tetek. 

Namun eksotika Candi Belahan agaknya luput dari perhatian pemerintah setempat karena letaknya yang terpencil di lereng gunung. Akses menuju ke lokasi yang menanjak dan berliku-liku diperparah dengan kondisinya yang sebagian rusak. Ini menjadi kendala bagi mereka yang ingin melakukan perjalanan ke sana. Selain itu kesadaran warga setempat untuk ikut memelihara situs kuno tersebut masih kurang. Banyak sampah bungkus sabun, pasta gigi, dan deterjen terdapat di sekitar candi maupun di dalam kolam candi meskipun terpancang papan peringatan untuk tidak membuang sampah sembarangan. Namun demikian kesegaran air Sumber Tetek dan keindahan alamnya tetap memiliki daya tarik yang kuat.